Putusan Eropa Terhadap Pfizergate "Pukulan Berat" bagi Komisi Uni Eropa

Putusan Eropa Terhadap Pfizergate “Pukulan Berat” bagi Komisi Uni Eropa


Putusan Mahkamah Umum Uni Eropa mengenai akses ke pesan-pesan perundingan tentang vaksin memicu keraguan masyarakat terhadap keserahan Komisi Uni Eropa dan juga kepemimpinan Presiden Komisi, Ursula von der Leyen.

Pengadilan Umum Uni Eropa mencabut putusan sebelumnya dari Komisi Eropa, yang sempat mengecam permintaan seorang wartawan harian The New York Times untuk mendapatkan akses terhadap pertukaran pesan SMS di antara Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen dengan CEO perusahaan farmasi Pfizer, yaitu Albert Bourla.

Putusan ini memiliki dampak yang besar baik di bidang hukum maupun politik terhadap lembaga eksekutif Uni Eropa, sementara juga meningkatkan tekanan pada Von der Leyen untuk mengimplementasikan keharusan akan keterbukaan informasi.


Von der Leyen mempunyai lebih besar wewenang
Bila dibandingkan dengan para presiden Komisi EU sebelumnya, dan mengarahkan Komisi dengan gaya yang sentralistik dan tertutup – ini tentu saja menjadi ‘pedang bermata dua’,” ujar Olivier Hoedeman dari Corporate Europe Observatory, organisasi pemantau berbasis di Brussels, saat berbicara dengan DW.

Kasus yang dikenal sebagai Pfizergate mencakup pertukaran pesan teks SMS saat negosiasi antara Uni Eropa dan Pfizer sedang berlangsung, sebelum menyetujui kesepakatan penyediaan 1,8 miliar dosis vaksin COVID-19 bernilai 35 miliar euro. Komunikasi pribadi ini pertama kali diketahui publik lewat sebuah wawancara pada tahun 2021, mengundang ketidaknyamanan tentang proses pengambilan keputusan yang kurang transparan di pusat operasi Uni Eropa.

Di penghujung tahun 2021, seorang jurnalis dari The New York Times bernama Matina Stevis-Gridneff meminta izin untuk melihat beberapa pesan berdasarkan hukum ketransparanan Uni Eropa. Namun, permohonannya di tolak oleh Komisi Uni Eropa karena klaim bahwa organisasi tersebut tidak menyimpan pesan-pesan tertentu. Kekecewaan atas penolakan ini mendorong suratkhabar Amerika Serikat itu mengambil tindakan hukum dan membawa kasusnya ke Pengadilan Umum Uni Eropa.

Tidak ada alasan yang logis.

Mahkamah Umum Uni Eropa mengatakan bahwa Komisi EU gagal memberikan bukti yang meyakinkan terhadap tuduhan mereka tentang ketidakmampuan mendapatkan dokumen yang dipersoalkan. Tambahan pula, Dewan EU juga dianggap belum berusaha cukup keras mencari dan merawat dokumen tersebut. Hakim-hakim pun putuskan bahwa percakapan melalui pesan singkat dalam situasi tender umum seharusnya ditafsirkan sebagai dokumentasi formal dari Union Européenne.

Pada suatu wawancara bersama DW, Shari Hinds dari Transparency International menyampaikan bahwa putusan itu adalah “keberhasilan besar dalam hal keterbukaan.” Dia juga melanjutkan bahwa tindakan ini bertujuan untuk merehabilitasi keyakinan masyarakat umum serta menjadikan institusi lebih bertanggung jawab.

Komisi Eropa merespons dengan menyatakan mereka akan menganalisis lebih jauh putusan pengadilan tersebut, serta mengakui betul-betul perlunya penjelasan mendalam tentang alasannya kenapa Komisi tak bisa memberikan isi pesan singkat yang dimaksud. Meski demikian, Komisi Eropa menjelaskan bahwa pengadilan hanya tidak setuju pada aspek tertentu dari kebijakan pendaftaran dokumen milik Komisi Eropa, sehingga diprediksikan tak ada modifikasi signifikan terhadap aturan pencatatan dokument ini seperti sedia kala.
“Kami selalu berpegang teguh pada prinsip transparansi,” ungkap Komisi melalui pernyataan resmi, sekali lagi menekankan tekadnya untuk tetap membuka diri dan bertanggung jawab sesuai dengan undang-undang saat ini.

Badan eksekutif paling tinggi di Uni Eropa kini memiliki opsi untuk mengajukan kasasi terhadap putusan dari pengadilan umum, atau tetap menaati putusan itu dengan menerbitkan pesan-pesan yang diperlukan jika tersedia, ataupun menyampaikan informasi detail tentang status pesan-pesana tersebut, seperti apabila sudah dihapus serta alasan dibalik hal ini.

‘Penghinaan dan kekalahan telak’

Pada saat yang sama Komisi selalu menyatakan tekadnya untuk mewujudkan keterbukaan, tetapi mengenai pelaksanaannya dari beberapa aspek ini, mereka belum berhasil,” ungkap Päivi Leino-Sandberg, seorang profesor hukum Uni Eropa internasional di Universitas Helsinki, ketika berbicara dengan DW dan melanjutkan bahwa organisasi itu sendiri bahkan tidak “menyadarinya sebagai suatu masalah.

Banyak wakil di Parlemen Eropa memberikan respons tegas. Martin Schirdewan, seorang ketua dari fraksi Partai Kiri, menggambarkan putusan itu sebagai
“Penghinaan serta kekalahannya yang menyakitkan” untuk Komisi Eropa
Schirdewan mengkritik von der Leyen karena telah melanggar prinsip demokrasi dan rahasia, serta meminta Presiden Komisi Uni Eropa itu agar secara cepat menerbitkan pesan-pesannya. Ia menyatakan peringatan, jika hal ini tak dilakukan, maka tindakan von Leyen dianggap sebagai sikap yang ceroboh sehingga memberi dasar bagi von der Leyen untuk melepaskan diri dari posisinya.

Menurut Hoedeman, dengan menjadi pemimpin dari badan yang bertanggung jawab atas penegakan hukum Uni Eropa dan
mengawasi negosiasi vaksin
Secara langsung, Von Der Leyen dianggap sebagai seorang agen ganda yang sudah “membuat konflik kepentingan yang nyata.” Ia menyebutkan bahwa putusan dari Mahkamah Umum Uni Eropa ini tak hanya menjadi suatu skandal untuk Komisi Eropa melainkan juga merupakan sebuah skandal bagi dirinya sendiri sebagai presiden.

Dia melanjutkan bahwa apabila suatu institusi yang berfungsi mewujudkan keterbukaan tidak dapat mempertahankan akuntabilitas atas kepemimpinannya sendiri, maka keyakinan publik akan dipertaruhkan, terutama bila para pemimpinya untung dari kurangnya pengawasan tersebut. Dia menjelaskan hal itu sebagai kerusakan dalam kepercayaan kepada Komisi serta seluruh badan Uni Eropa.

Dia menyebutkan bahwa walaupun Komisi sudah mendukung metodenya dengan mengklaim ada keadaan darurat akibat pandemi, situasi kritis tersebut tak bisa menjadi alasan untuk kurangnya kesadaran terbuka. Dia menjelaskan, “Komisi perlu mulai menganggap transparansi sebagai suatu hal yang harus dihadapi, bukan ditakuti. Kalau tidak, hal itu akan mendorong timbulnya dugaan-dugaan tanpa dasar dan hilangnya keyakinan.”

‘Akuntabilitas dan pengawasan’ diperlukan

Pakar transparansi dan ahli hukum menyebut bahwa putusan pengadilan tersebut merupakan ‘puncak perubahan’ dalam cara manajemen komunikasi eksekutif di Brussels. Menurut Hinds, “Ketentuan yang berdampak pada jutaan individu tak boleh ditentukan lewat pesan-pesan pribadi.” Ia menekankan pentingnya melakukan hal-hal semacam ini secara resmi dengan adanya pertanggungjawaban serta pemantauan.

Pesannya dari berbagai kritikus cukup tegas: Penyusunan kebijakan, terlebih lagi yang menyangkut kesejahteraan dan finansial masyarakat, harus transparan dan tak bisa disembunyikan.

Kontroversi tersebut timbul di waktu yang sangat peka untuk Uni Eropa. Saat kubu
Nasionalisme ekstrem sayap kanan semakin populer.
Di berbagai negara anggota kelompok tersebut dan sejumlah besar penduduk yang mulai meragukan Brussels, keyakinan publik terhadap Uni Eropa merupakan harta berharga.

Parlemen Eropa saat ini kemungkinan besar akan menginginkan investigasi mandiri, sementara organisasi-organisasi masyarakat sipil mendesak adanya regulasi yang lebih kuat agar dipastikan seluruh komunikasi formal dicatat dan mudah terjangkau oleh publik.

Belum jelas bagaimana tanggapan von der Leyen terkait dengan tantangan tersebut. Akan tetapi, dengan semakin tegasnya pengawasan hukum dan risiko reputasi di mata publik, kepemimpinan von der Leyen saat ini tengah dites secara berarti.


*Artikel ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Inggris


Diadaptasi oleh Sorta Caroline


Editor: Agus Setiawan

ind:content_author: Tessa Clara Walther

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *