Roy Suryo, seorang ahli telematika dan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, menyatakan telah menemukan salinan ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), melalui platform media sosial.
Itu muncul dalam perdebatan sengit antara Roy Suryo dan Pengacara Jokowi, yakni Yakup Hasibuan, di acara Dua Arah Kompas TV pada hari Jumat, 2 Mei 2025.
Sebenarnya pada awalnya, Roy Suryo menyangkal bahwa dia memperoleh ijazah tersebut secara daring.
“tidak, ini sama sekala tidak termasuk online,” ujar Roy Suryo.
“Darimana Pak, izin mungkin Bapak dapatkan?” tanya Jakub Hasibuan, pengacara Jokowi.
Sebentar kacau, Roy Suryo memberikan alasan bahwa pernyataannya tentang ijazah Jokowi yang dipalsukan didasari oleh skripsinya.
“Ijazah kita juga harus dipertanyakan jika skripsi yang diberikan tidak valid, artinya ijazah tersebut tentu saja tidak sah,” ujar Roy Suryo.
Yakup Hasibuan juga menanyai tentang asal-usul diploma yang diteliti oleh Roy Suryo, bukan tesisnya.
“Tidak, bukan begitu. Masalahnya terletak pada analisis ijazah. Katanya ada foto yang tidak cocok, dari mana asalnya?” tanya Yakup kembali.
Pada akhirnya, Roy Suryo juga mengakui bahwa dia memperoleh gambar tersebut dari platform media sosial.
“Baiklah, informasi tersebut berasal dari orang yang mengirimkan pesan di media sosial dan menyatakan bahwa ia menerima langsung dari Pak Jokowi,” ujar Roy Suryo dengan keyakinan.
Apa Kata Ahli Forensik?
Praktisi dan ahli forensik dokumen, Raden Hendro, menjelaskan, obyek dokumen yang berupa salinan atau fotokopi, hasil pindai atau scan, dan bentuk PDF tidak dapat diperiksa secara forensik karena mudah direkayasa.
Raden Hendro menyatakan hal tersebut saat menghadiri diskusi Sapa Indonesia di Kompas TV pada malam hari, dimana mereka membicarakan tentang pemeriksaan forense Ijazah Jokowi, Jumat (9/5/2025).
Hendro merespons terkait laporan tentang variasi gaya huruf dan desain dalam gambar ijazah Jokowi yang tersebar di internet.
“Beginilah caranya, jika objek dokumentasinya berupa salinan foto, skan, atau file PDF dari barang bukti, maka tidak dapat dicek secara forensik karena dokumen tersebut mudah dimodifikasi,” jelasnya.
“Kembali lagi, fotokopi, lindasan karbon, scan, dan PDF, tidak dapat dianalisis keasliannya karena apa? Karena dokumen-dokumen tersebut sangat mudah untuk dimanipulasi,” jelasnya lebih lanjut.
Dokumen yang dapat dilakukan uji laboratorium forensik sebagai alat bukti, kata Hendro, adalah dokumen asli yang valid dan berbentuk fisik.
“Oleh karena itu, hanya yang benar-benar sah yang akan dicek, secara fisik, kami sentuh, lihat, cium, dan rasakan, baru kemudian kami periksa,” jelasnya.
“Kawan-kawan kami di laboratorium forensik akan menolak jika ada kasus photocopier dan juga kasus pemindaian PDF karena dokumentasi tersebut dapat dengan mudah dimodifikasi,” jelasnya.
Hendro juga menjelaskan tentang tiga jenis dokumen, yakni dokumen fisik berbentuk kertas, dokumen elektronik berbentuk hasil foto atau pemindaian, dan dokumen digital.
Kami paham bahwa isu yang sedang hangat diperbincangkan ini berkaitan dengan permasalahanijazah,
Nah, sertifikat ini merupakan dokumen fisika atau kertas dasar, sedangkan yang banyak diperdebatkan di luaran adalah dokumen elektronik,
“Forensik dokumen mencakup tiga aspek dari sebuah dokumen. Yang pertama adalah bentuk fisiknya atau dasar kertas, atau dalam konteks tiga dimensi, yaitu sesuatu yang dapat kitapegang dan kesentuhan,” jelasnya.
Dia menyebutkan bahwa apabila kita membandingkan tingkat kevalidan antara dokumen berbentuk fisik dengan dokumen digital, maka tingkat kevalidan dari dokumen fisik cenderung lebih tinggi.
Saat ini perbincangan hangat berkisar pada validitas atau tingkat kepercayaan terhadap bukti. Yang menjadi sorotan utama adalah bukti fisik berupa dokumen, tidak termasuk dokumen elektronik.
“Jadi ini mengakibatkan posisi objek pengawasan dari mereka yang banyak tersebut menurun,” katanya.
Dia kemudiannya menyoal keterangan para saksi yang menyatakan telah menganalisis dokumen diploma berkontroversi itu.
“Saksi adalah orang yang ada di tempat kejadian, yang melihat dan mendengar. Jadi, dia memiliki dokumen aslinya,” ujar Hendro.
“Sedangkan dokumen yang diperiksa oleh mereka ahli yang sedang ramai itu, apakah sudah memegang, sudah menyentuh (aslinya)?,” tanya Hendro.
“Temannya para penyidik pun harus menanyakan hal ini juga dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atau di hadapan hakim di pengadilan,” ujarnya.
Menurut Hendro, masalah yang tengah mencuat sekarang merupakan kasus di mana bukti elektroniknya sangat minim, yaitu dokumen digital.
Ini tak dapat dicek secara forensik.
Sehingga dokumen yang ahli periksa di luar itu adalah dokumen yang beredar luas di media sosial, tidak ada nilainya.
(*/ )
Baca berita
TRIBUN MEDAN
lainnya di
Google News
Perhatikan pula berita atau info tambahan di
Facebook
,
Instagram
dan
Twitter
dan
WA Channel
Berita viral lainnya di
Tribun Medan