Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi saat ini sering disebut sebagai Mulyono versi II dan Jokowi-nya Sundanya.
Itu semua karena dia kerap kali melakukan aktivitas di tengah masyarakat serta menyelesaikan masalah secara langsung di tempat terkait.
Di media sosial, aksi Dedi itu dihubung-hubungkan dengan gaya politik Jokowi yang juga sering turun ke masyarakat, karib dengan sebutan blusukan.
Jokowi juga mendapatkan popularitas berkat gaya blusukannya yang memungkinkan dia naik ke posisi kepemimpinan eksekutif, mulai dari menjadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan akhirnya terpilih sebagai Presiden Indonesia untuk masa jabatan dua kali (2014-2024).
Namun, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mencatat adanya perbedaan yang jelas antara Dedi Mulyadi dan Jokowi.
“Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0 itu enggak seluruhnya benar juga sih,” kata Burhan, sapaan karib sang pengamat, saat bicara di program On Point with Adisty, Youtube Kompas TV, tayang Sabtu (10/5/2025).
Berdasarkan pendapat Burhan, Dedi Mulyadi terlihat sangat jelas dan tegas, sementara Jokowi kurang demikian.
Dedi Mulyadi mampu menangani tantangan melalui obrolan, perbincangan sampai debat.
Burhan mengutarakannya sebagai contoh ketika suatu kejadian menjadikan Dedi Mulyadi terkenal di Purwakarta.
Pada saat tersebut ia berfungsi sebagai Anggota DPRD Purwakarta (1999-2004).
Selanjutnya, dia menjabat sebagai Wakil Bupati dan kemudian Bupati di Purwakarta.
Bila kita melihat riwayat dari KDM ini, contohnya saat ia menjabat sebagai anggota DPRD Purwakarta, di sana terjadi banyak demonstrasi buruh.
Saat rekan-rekannya dari anggota DPRD Purwakarta enggan bertemu dengan para demonstran pekerja, ia melangkah untuk memenuhi undangan tersebut. Terjadilah debat panas yang cukup ramai, namun usai acara unjuk rasa ini, popularitasnya meningkat karena keberanian dirinya dalam berdebat serta mendorong diskusi bersama pihak-pihak yang menggunakan kontrak kerja.
“Setelah itu ia melangkah menjadi pemimpin wilayah dan berhasil,” jelas Burhan.
Burhan mengatakan tegas bahwa Jokowi tidak dapat bersikap seperti Dedi Mulyadi ketika ber-dialog, terutama dalam insiden yang melibatkan para pekerja tersebut.
“Jika kita membayangkan Pak Jokowi dengan cara lain, akan terlihat berbeda. Karena biasanya beliau sering tersenyum dan ketika ditanyai, dia menjawab, ‘Mengapa kamu bertanya pada saya?’,” ujar Burhan.
Menurut Burhan, sebaliknya pula, Dedi Mulyadi tentu tidak akan bertindak serupa dengan Jokowi yang terkenal sebagai orang yang jarang berbicara.
“itu tidak mungkin pernyataan tersebut berasal dari KDM. KDM tentu akan merespons,” ungkapnya.
Satu pembeda antara Dedi Mulyadi dan Jokowi adalah latar belakang keaktifannya dalam gerakan mahasiswa di universitas.
“Sebab latar belakang mereka berbeda. Bapak Jokowi memiliki pengalaman sebagai aktivis mapala saat menjadi mahasiswa, sedangkan KDM adalah seorang aktivis murni; ia pernah aktif dalam HMI dan terlibat di organisasi kepemudaan,” jelas Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
Dobrak Sekat Politik
Burhanuddin juga menganggap Dedi Mulyadi sebagai politisi yang meruntuhkan pembatasan dalam dunia politik nasional.
Antara lainnya terdapat poin bahwa Jakarta sering kali menjadi pusat perhatian, yang memberikan kesempatan bagi para gubernur untuk berkembang dan tampil dalam pemilihan presiden.
Demikian pula dalam hal aspek etnik, umumnya calon presiden atau calon wakil presiden berasal dari etnis Jawa mengingat populasi mereka yang cukup besar.
Meskipun demikian, Dedi Mulyadi merupakan orang Sunda yang memegang posisi kepemimpinan di Jawa Barat.
Burhanuddin menyebutkan bahwa, sesuai dengan semua identitas yang dimilikinya, Dedi Mulyadi dianggap sebagai pemimpin lokal yang sedang sangat terkenal pada masa kini.
Saingan terberat bagi Gubernur atau Bupati saat ini adalah KDM (Kang Dedi Mulyadi), hal itu disampaikan oleh Burhanuddin dalam acara On Point with Adisty di YouTube Kompas TV, ditayangkan pada hari Sabtu (10/5/2025).
“Yang saya sampaikan ini dari perspektif seorang peneliti opini publik, jadi beratannya dalam hal ilmiah dapat saya jelaskan dengan baik,” tambah dia.
Burhanuddin juga menjelaskan landasan argumentasinya tentang bagaimana Dedi Mulyadi berhasil menyingkirkan fokus nasional pada Jakarta.
“Biasanya popularitas kepala daerah itu bermula di Jakarta Kenapa Karena Jakarta adalah pusatnya pemerintahan, pusatnya informasi, pusatnya opinion maker.”
Ini yang menggambarkan kenaikan Jokowi. Ini juga yang menunjukkan peningkatan Anis Baswedan. Namun saat ini situasinya berbalik di Jawa Barat.
Burhanuddin mengatakan Dedi Mulyadi berhasil mendorong batas tersebut.
Terkait aspek etnisitas, Burhanuddin menyinggung beberapa tokoh politisi berpengaruh yang berasal dari Jawa. Dia mengatakan bahwa Dedi Mulyadi telah mampu setara dengan para individu terkemuka itu.
Sama halnya, sering kali kita temukan bahwa para pemimpin daerah yang terkenal umumnya memiliki asal-usul suku Jawa. Misalkan seperti Jokowi, Ganjar Pranowo, dan Anies; walaupun kita mengerti mereka bukan seluruhnya berasal dari Jawa, namun keduanya membangun karir politiknya di Yogyakarta.
Beginilah adanya di Sunda, meskipun suku terbesar kedua namun perbedaannya dengan suku Jawa dalam hal presentase sangatlah besar.
“Oleh karena itu, banyak sekali inovasi yang dihasilkan oleh KDM meski disertai berbagai perdebatan,” ujar Burhanuddin.
(*/ )
Baca berita
TRIBUN MEDAN
lainnya di
Google News
Lihat pula berita atau info tambahan di
Facebook
,
Instagram
dan
Twitter
dan
WA Channel
Berita viral lainnya di
Tribun Medan