Pada baris-baris lemari buku di dalam rumah, biasanya tertata rapi koleksi bukunya yang kelihatan menggiurkan. Mereka memiliki sampul yang mempesona,judul yang memancing minat,dan ada juga yang tetap dibungkus dengan kantong plastik.
Meskipun begitu, banyak di antara buku-bukunya belum juga terbuka, apalagi dibacanya. Hal seperti ini sebenarnya tidak jarang terjadi dan mempunyai nama tersendiri dalam bahasanya, yaitu tsundoku.
Berakar dari kata Jepang, tsundoku menggambarkan perilaku membeli buku tetapi tak pernah menyentuhnya untuk dibaca.
Bukan disebabkan oleh ketidaklayakan baca dari buku-bukunya, melainkan karena tekanan untuk mendapatkan yang baru dengan cepat melebihi keinginan untuk benar-benar menyerap kontennya. Hasrat untuk menghabiskannya sendiri telah bergeser menjadi semacam hasrat belaka untuk membeli saja.
Phenomenon ini makin menjalar ke masa kini, ketika akses menuju buku menjadi lebih gampang serta strategi pemasaran penjualannya tambah agresif.
Bagaimana caranya untuk mengendalikan diri supaya tidak jatuh ke dalam pola gaya hidup boros ini? Apakah ada cara lain untuk memulihkan makna sebenarnya dari membaca, yaitu menjadi suatu pengalaman pribadi serta pemikiran mendalam, daripada hanya ikut-ikutan trend semata?
Mempunyai Buku Tidak Berarti Memahaminya
Menurut YouTube Robin Waldun, dulu memiliki buku merupakan suatu keistimewaan. Pada zaman yang belum ada mesin pencetak, hanyalah segelintir orang yang mampu memilikinya. Namun saat ini, kita dapat membeli buku dengan mudah setiap waktu dan di berbagai tempat, baik dalam versi fisik maupun elektronik.
Mengunjungi toko buku saat ini serupa dengan berkelana di pusat perbelanjaan, menawarkan ragam opsi yang luas, dekorasi bergaya promosi yang mencolok, serta insentif untuk mengumpulkan edisi baru dari buku-buku favorit.
Meskipun begitu, harus ditekankan bahwa membeli buku tidak sama dengan membacanya. Proses pembelian hanyalah salah satu aspek konsumsi, sementara itu intelektualisasi merupakan hal yang lain. Terdapat perbedaan mendasar antara mengoleksi banyak buku dan benar-benar merasuki makna serta pengajaran dalam setiap buku tersebut.
Saat membeli buku, apa yang sebenarnya kita dapatkan mungkin hanya sebuah potensi, dan tidak selalu berarti bahwa hal tersebut akan direalisasikan melalui kebiasaan membaca sungguhan. Robin Waldun,
a longlife leaner
, berbagi kiat-kiat menghadapi tantangan dalam permainan Sudoku.
Tiga Langkah Menghadapi Tsudoku
Agar dapat melepaskan diri dari perangkap tsudoku, diperlukan kesadaran serta kebiasaan baru. Beberapa tindakan spesifik berikut ini dapat dijalankan:
1. Telusuri Buku Sebelum Memboyongnya
Sebelum Anda menyelesaikan keputusan untuk mengambil buku tersebut, ambil sedikit waktu untuk sekadar melihat-lihatnya. Teliti beberapa halaman di awal, kurang lebih 10 sampai 15 lembar pertama, dan renungkan seperti apa suasananya. Bisakah Anda merasakan keterikatan dengan cara penulis menyampaikan pesan? Apakah ide-ide yang disajikan terasa dekat atau justru aneh bagi Anda?
Langkah ini berguna untuk mengidentifikasi perbedaan antara buku yang sekadar terlihat menarik secara fisik dan buku yang memiliki kualitas konten yang baik. Jangan sampai penampilannya saja, potongan harga signifikan, atau label sebagai bestseller menjadikannya satu-satunya pertimbangan dalam pembelian Anda.
2. Mulai Kebiasaan Membaca, Bukan Hanya Kebiasaan Membeli
Membaca merupakan suatu kebiasaan yang harus dipraktikkan secara teratur, sama seperti ketika Anda berolahraga atau meditasi. Tidak diperlukan penyelesaian ratusan halaman setiap harinya.
Sediakan saja 15-20 menit setiap harinya, bisa dilakukan di awal hari saat Anda minum kopi, atau menjelang tidur tanpa perlu memegang gadget.
Hal pentingnya adalah ketekunan. Saat membaca menjadi sebuah kebiasaan sehari-hari, maka pengeluaran untuk membeli buku juga bisa dikelola dengan baik. Koleksi buku Anda nantinya tidak sekadar menumpuk tetapi dapat diapresiasi secara optimal.
3. Kurangi Ketagihan terhadap Nomor dan Daftar Buku yang Harus Dibaca
Pada zaman digital ini, banyak individu senang merekam dan menampilkan total buku yang sudah mereka baca menggunakan platform semacam Goodreads.
Walaupun hal ini dapat menjadi inspirasi, tanpa kita sadari, kegiatan membaca bisa berubah jadi sebuah kompetisi. Fokusnya bukannya lagi untuk menikmati konten di dalam buku, tapi malah mencapai jumlah target dan pengakuan dari orang lain.
Lebih baik melepaskan beban untuk “menghabiskan” semua buku. Jika suatu buku dirasakan kurang sesuai atau tidak menarik lagi, jangan ragu untuk menghentikan pembacaannya. Tak perlu setiap buku selesai dibaca. Pilihlah bahan bacaan yang memiliki keterkaitan dan makna bagi Anda daripada sekadar mencapai target.
Membaca Sebagai Petualangan, Bukan Hanya Kumpulan
Sebuah rak buku ideal tidak harus menjadi display untuk trofi atau representasi dari kesan kecerdasan. Buku-buku itu sendiri sebaiknya dianggap sebagai catatan perjalanan jiwa dan pemikiran, daripada hanya sekadar hiasan mati.
Bila sebuah buku dipilih secara cermat serta dibaca dengan penuh konsentrasi, ia dapat memberikan dampak yang bertahan lama pada pola pikir seseorang juga bagaimana mereka melihat kehidupan di sekitarnya.
Membaca merupakan suatu aktivitas yang bersifat introspektif. Ini mencakup partisipasi secara emosi dan pikiran. Satu buah buku mampu merombak perspektif hidup seseorang, dapat berfungsi sebagai sahabat dalam kesendirian, atau bahkan seperti mentor tanpa nama.
Namun hal ini baru dapat terwujud apabila buku tersebut betul-betul dibaca, bukan sekadar dibeli.
Pilihlah Buku yang Memanggil, Bukan Hanya Yang Terlihat Menarik
Habituasi mengoleksi buku dapat dirubuhkan apabila aktivitas membaca dianut sebagai suatu petualangan, tak sekadar tuntutan wajib.
Dimulai dari sebuah buku saja. Selesaikan secara bertahap. Pahami pesonanya. Dan bila tak memberi dampak, jangan sungkan untuk melepaskannya.
Kehidupan ini terlalu pendek untuk menghabiskan waktu pada buku-buku yang tidak mempengaruhi hati. Oleh karena itu, mari kita jadikan perpustakaan sebagai tempat berisi pesan-pesan penting, bukannya hanya gudang hasil pembelian tanpa pertimbangan. (*)